Bismillahirrahmaanirrahiim Laa haula walaa quwwata illaa billah

Selasa, 19 Juli 2011

Madzhab ? apa masih diperlukan saat ini ???

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
 
Mazhab fiqih bukanlah sekte atau pecahan kelompok dalam agama. Mazhab fiqih adalah metologi yang sangat diperlukan dalam memahami nash-nash agama.
Mengatakan kembali kepada Quran dan Sunnah memang mudah, tetapi dalam kenyataannya, ada banyak masalah yang muncul dan tidak terpikirkan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya, tiap orang akan berimprofisasi sendiri-sendiri dalam berpegang kepada Quran dan Sunnah, bahkan variannya akan menjadi sangat banyak tidak terhingga.
Munculnya aliran sesat semacam Islam Jamaah, Ahmadiyah, serta kelompok nyeleneh lainnya adalah akibat dari tidak adanya sistem istimbath hukum yang baku dalam menarik kesimpulan hukum yang benar dari Quran dan sunnah.
Semua jamaah sesat selalu mengklaim bahwa mereka merujuk kepada Quran dan sunnah. Untuk itu dibutuhkan rule of the game dalam menggunakan Quran dan sunnah, agar hasilnya tidak bertentangan dengan esensi keduanya.

Wajibkah Bermadzhab ?

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, 
Limpahan kebahagiaan dan rahmat Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda, saudaraku yang kumuliakan, mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan sebagaimana orang orang masa kini yang mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya, Anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya. Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia butuh sanad yang ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas.. Dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab syafii nya,

Demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain. demikian saudaraku yang kumuliakan.,

Wallahu a'lam.
(Kutipan dari Habib munzir Al Musawa)

Senin, 11 Juli 2011

Gonta ganti madzhab


Sebenarnya urusan bergonta-ganti mazhab bukan larangan. Namun sebaliknya, justru anjuran untuk mendapatkan kemudahan. Jadi kalimat yang benar adalah bahwa setiap muslim dibolehkan atau berhak untuk berpegang pada satu mazhab saja. Tidak harus selalu bergonta-ganti, karena akan sangat merepotkan.
Namun kalau ada pelajar atau mahasiswa ilmu syariah yang melakukan pengkajian dan kritisi atas pendapat-pendapat hukum dari para ulama, lalu mereka merajihkan satu pendapat tertentu dari sebuah mazhab dan sebagian lagi merajihkan pendapat dari mazhan lainnya, tentu tdiak dilarang. Karena belajar fiqih pada level tertentu adalah belajar mentarjih.Dan seorang yang punya beberapa dasar ilmu fiqih pada waktu tertentu harus berani melakukan tarjih.
Sebaliknya, orang awam yang tidak mengerti dasar ilmu fiqih, buta bahasa arab, tidak mengerti ilmu ushul dan lainnya, tidak punya kewajiban untuk melakukan tarjih. Dia boleh bertaqlid dengan salah satu pendapat dari mazhab tertentu sebagai kemudahan. Bahkan tidak diwajibkan atasnya untuk membedah dalil-dalil tiap masalah. Cukup meminta fatwa dan isi fatwa itu hanya satu kata: halal, titik.
Orang-orang awam dibolehkan menjadi muqallid dalam ilmu istimbath hukum. Kepadanya tidak dipikulkan beban yang tidak mampu diangkatnya. Bahkan kalau dipaksakan justru berbahaya.
Semua ini bisa kita ibaratkan dengan sebuah peperangan yang melihat pasukanprofesional. Hanya tentara profesional saja yang dikirm ke medan perang. Tindakanmemerintahkan rakyat sipil untuk masuk medan perang adalah keliru dan berbahaya. Rakyat sipil tidak diwajibkan ikut pertempuran, justru mereka harus diselamatkan atau diungsikan. Tapi kalau ada relawan mau ikut membantu tentara profesional menjadi milisi, tidak tertutup peluang. Namun wajib ikut latihan sebelumnya dan diperbantukan.

Menelusuri Fiqih Imam Syafi'i

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Untuk mengenal lebih jauh tentang fiqih Imam Asy-Syafi'i, sebenarnya sangat mudah. Sebab fiqihmazhab itu tersebar luas dalam ribuan jilid kitab.
Untuk yang paling tinggi, bisa kita baca dalam kitab beliau yang berjudul Al-Umm (induk). Kitab yang tebalnya 11 jilid ini adalah kitab utama dan sesuai dengan namanya, kitab ini menjadi kitab induk rujukan pertama dalam mazhab As-syafi'i. Ke kitab inilah para ulama mazhab Syafi'i merujuk, karena boleh dibilang bahwa kitab ini berisi fatwa-fatwa resmi Al-Imam As-Syafi'i rahimahullah.
Sayangnya tidak semua ustadz atau guru pengajian memiliki kitab ini. Mungkin karena cukup tebal dan memang dahulu ngajinya tidak sampai ke level ini.
Jangan lupa juga untuk membaca kitab ushul fiqih beliau yaitu Ar-Risalah. Kitab ini adalah bacaan wajib para ulama mazhab, karena kitab ini adalah kitab pertama yang ditulis khusus dalam ilmu ushul fiqih. Tidak mungkin ada seorang bisa jadi mujtahid fiqih, kalau belum baca kitab ini. Dan Al-Imam As-Syafi'i adalah Bapak peletak dasar ilmu ushul fiqih. Nyaris semua ulama ahli fiqih berguru dari kitab ini.

Biografi singkat imam syafi'i

Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.

Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat

Minggu, 10 Juli 2011

BID'AH

Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.

Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah. Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah
makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam, Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja. Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk edekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw? Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas
ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku ependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan
sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yang baru, sungguh semua yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw. Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873). Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?,
adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggarsyariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’ urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw. Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al- Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al- Quran dan tidak ada yang memungkirinya. Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).
Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”. Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt, Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan baangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semuayang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dim aksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ahyang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yang menentang  kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155) Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189). Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?
Walillahittaufiq

Rabu, 04 Mei 2011

Makna Ahlussunnah wal Jama'ah

         Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah :  
(فمن أراد بحبوحة الجنة فلليلزم الجماعة "(رواه الترمذي   
 Maknanya: …”maka barangsiapa yang menginginkan tempat lapang disyurga hendaklah berpegang teguh pada al Jam’a; yakni berpegang teguh kepada aqidah al Jama’ah”. 
(Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at Turmudzi mengatakan hadits hasan shahih) Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam besar yang agung Abu al Hasan alAsy ‘ari (W.324 H) dan Abu Mansur al Maturidi (W.333 H)-semoga Allah meridhai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al Hadits) dan ‘aqli (argument rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.  
        
        Al Hafizh Mutadla az-Zabidi (W.1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm.6, mengatakan: “pasal keduaA:”Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah pengikut madzhab Syafi’I, para pengikut madzhab maliki, para pengikut madzhab Hanafi, dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka. Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab: " إيمان بالله ورسوله" (رواه البخاري) Maknanya: “ Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. al Bukhari) Sama sekali tidak berpengaruh, ketika golongan Musyabbihah mencela ilmu ini dengan mengatakan “ilmu ini adalah ilmu al kalam al Madzmum (ilmu kalam yang dicela oleh salaf)”. Mereka tidak mengetahui bahwa ilmu al kalam al Mazmum adalah yang dikarang dan ditekuni oleh Mu’tazilah, Musyabbihah dan ahli-ahli bid’ah semacam mereka. Sedangkan ilmu al kalam al mamduh (ilmu kalam yang terpuji) yang ditekuni oleh Ahlussunnah, dasar-dasarnya sesungguhnya telah ada dikalangan para sahabat. Pembicaraan dalam ilmu ini dengan membantah ahli bid’ah telah dimulai pada zaman para sahabat. Sayyidina Ali-semoga Allah meridhainya- membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad-dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta ala mini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan 40 orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Beliau juga membantah orang-orang Mu’tazilah. 
 
       Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Ibnu Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘umar radhiallahu ‘anhu juga telah membantah kaum Mu’tazilah. Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, Khalifah ‘umar ibn Abd al ‘Aziz Radhiallahu ‘anhu juga telah membantah kaum mu’tazilah. Dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, trutama al Imam asy-syafi’I Radhiallahu ‘anhu beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hahifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad Radhiallahu ‘anhu sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi (W.429 H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W. 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az-Zarkasyi (W. 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al ‘Allaamah al Bayadli (W. 1098 H) dalam Isyarat al Maram dan lain-lain. Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al ‘Aqidah ath Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath Thahawi (W. 321 H), kitab al ‘Aqidah an Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an Nasafi (W. 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W. 630 H), al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W. 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan Shalahuddin al Ayyubi (W. 589 H) –semoga Allah meridhainya-, beliau sangat tertarik dengan buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al ‘Aqidah ahs Shalahiyyah. Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’I, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzin untuk mengumandangkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di mesir, seluruh Negara Syam (Syiria,Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H) dalam al Wasa ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al ‘Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan it terus berlangsung.  
note: al Hafizh adalah orang yang ahli dan hafal hadits beserta sanad dan perawihnya.

Keharusan mengikut aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tercurah atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Seiring merebaknya berbagai faham yang menyimpang dikalangan masyarakat kita, seperti tasybih (mnyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), takfir (pengkafiran) tanpa alasan,pengingkaran terhadap empat madzhab dan lain-lain. Maka pemahaman dan pengajaran aqidah ahlussunnah waljama'ah harus kembali ditekankan. Karena aqidah ini adalah aqidah mayoritas umat islam, dari masa Rasulullah hingga kini, aqidah golongan yang selamat (al Firqah an Najiyyah). Karena itulah para ulama empat madzhab menulis bebagai karya, dari mulai tulisan mukhtasharat (ringkasan) hingga muthawwalat (buku2 besar) dalam menerangkan aqidah Ahlussunnah ini. Aqidah sunniyyah adalah aqidah yang telah disepakati kebenarannya oleh segenap kaum muslimin diseluruh penjuru bumi. Aqidah inilah yang telah dibawa oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Aqidah ini kemudian dijelaskan kembali berikut dengan dalil-dalil naqli dan aqli serta bantahan terhadap golongan2 yang menyempal oleh dua imam besar; Al Imam Abu al Hasan al Ays'ari dan Al Imam Abu Manshur al Maturidi -semoga Allah meridhoi keduanya-. Akhirnya pada awal abad IV H Ahlussunnah dikenal dengan nama baru al Asy'ariyah dan al Maturidiyyah. Mereka adalah mayoritas umat yang tergabung dalam pengikut madzhab empat. Sesuatu yang patut disayangkan adalah merebaknya faham-faham yang bersenrangan dengan aqidah Ahlussunnaha dengan klai sebagai Ahlussunnah. Seperti faham yang mengatakan bahwa Allah bersemayam diatas 'Arsy atau Kursi (sebagian mereka menyatakan dilangit), mengharamkan ziarah kubur, memusyrikan orang yang bertawassul, menyatakan semua bid'ah(hal yang tidak disebut secara eksplisit dalam al Qur'an dan Sunnah) adalah sesat, dan banyak hal yang lainnya. Bahkan pada kurun terakhir ini telah timbul faham baru -pengikut faham salah satu sub sekte Khawarij- yang mengkafirkan penduduk suatu negara yang tidak memakai syari'at islam. Mereka mengkafirkan semua orang, baik yang duduk dalam pemerintahan negara tersebut maupun rakyat biasa. Faham2 inilah yang mulai merebak dimasyarakat kita. Faham2 yang jelas2 menyalahi apa yang telah disepakati oleh Ahlussunnah Wal Jama'ah. Wallahu a'lam.
(Dikutip dari buku AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH yang diterbitkan oleh SYAHAMAHpress)

janganlah berpecah belah


Hadits Hudzaifah Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu

NASH HADITS

“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
MAKNA HADITS
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Allah berfirman,
“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. (QS Al-An’am: 55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan Sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan Sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan. Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”
“Barang siapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya”
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu. Maka ia berkata, “Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.
Kedua, Kekokohan Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa. Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya. Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah, di mana Allah belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran: 151)
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab, “Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Kemudian apa yang menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barokahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (pengkhianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain, “Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no. 4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam ‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari yang berkata: “Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)”.
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim yang artinya “Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai dai atau du’at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak dari da’a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).
Ketiga, Jamaah minal Muslimin dan bukan Jamaah Muslimin/’Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilallah, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah Jamaatul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini di mana Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jamaah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Keempat, menjauhi semua firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Kelima, jalan penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Pertama
Bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridhwanullah ta’ala ‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jamaah Muslimin serta Imamnya.
Kedua
Di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.
Ketiga
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh Dajjal.
Maraji’:
  1. Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
  2. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
  3. Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
  4. Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani
  5. Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
  6. As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
  7. As-Sunnan, oleh Abu Dawud
  8. As-Sunnan, oleh Tirmidzi
  9. Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
  10. Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
  11. As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
  12. ‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi
  13. Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
  14. Al-Mustadrak, oleh Hakim
  15. Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal

Minggu, 01 Mei 2011

asas perjuangan majelis tafakur

  • PEMAHAMAN YANG MENJADI DASAR PERJUANGAN MAJELIS TAFAKUR
Faham yang melekat di dalam tubuh majelis tafakur adalah Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas.
Ahlussunnah wal Jama’ah bemakna mengikut pada sunnah nabi SAW di atas garis yang dipraktekkan jama’ah sahabat Nabi Muhammad SAW.
Lebih spesifik lagi majelis tafakur dalam hal aqidah/theologies mengikuti faham Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Secara fiqih mengikuti faham Imam yang empat (arba’ul madzhab) yang utama Imam Syafi’I dan secara tasawuf mengikuti faham Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan Syekh Junaid Al-Baghdadi.
Dan secara tegas majelis tafakur menolak faham syi’ah, wahabiyah, faham-faham lain yang menyerupainya serta faham yang dianggap sesat oleh ijma’ ulama’.
Dan secara tegas pula bahwa majelis tafakur anti terhadap politik praktis dalam mengambil kekuasaan. Karena politik praktis adalah sarang kerusakan moral dan parlemen bukanlah tempat yang menginginkan syari’at Islam tegak. Tidaklah bercampur hukum Allah dan hukum buatan manusia kecuali yang ada hanyalah kerusakan.

  • METODE PERJUANGAN MAJELIS TAFAKUR
Jalan juang MT melalui tiga tahapan, yang satu sama lain saling mengisi sehingga tercipta kesinambungan gerakan yang kokoh. Tiga tahapan itu yaitu :
1. Ta’lim
Yakni mempelajari ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Aktivitas belajar ini sangat penting peranannya dalam membekali para pengemban dakwah dalam aktivitasnya menyebarkan dakwah Islam ke masyarakat luas. Karenanya mustahil bagi siapa saja yang ingin berdakwah tanpa di bekali ilmu yang yang cukup. Hal ini menjadi pondasi yang mendasar agar apa yang disampaikan para da’i tidak menjadikan manusia tersesat jalan yang benar. Maka ilmu yang harus di miliki oleh para da’i minimal ia faham akan ilmu dari pokok-pokok agama, yaitu tentang tauhid, fiqih dan tasawuf/akhlaq. Di samping itu juga minimal ia mengerti juga tentang ilmu keorganisasian, agar para da’i dapat memberikan apa yang perlu bagi jama’ah yang ia pimpin.
2. Dakwah
Yakni pembinaan insan dengan penuh kedisiplinan yang tinggi dalam hal mental dan spiritual, merasakan keikhlasan yang murni di dalam hati, dalam hal khidmah dan pengorbanan dan sabar dalam kesulitan yang melanda serta berbagi dalam kesenangan yang di rasa. Dakwah ini bukan hanya menyampaikan saja, tetapi lebih dari itu yakni menyampaikan dan membina dengan benar. Tujuannya adalah agar apa yang disampaikan tidak hilang begitu saja, sehingga dengan seperti itu materi yang disampaikan para da’i dapat masuk ke dalam hati orang yang mendengarkan.
3. Harokah
Yakni jihad dengan kesanggupan diri. Iman akan meredup dan tenggelam dalam buayan setan tanpa berjihad di jalan Allah. Bahkan terlalai dengan selimut dunia dan hiasannya jika ia tidak berjihad. Baik ia sadar maupun tidak. Inilah jalan yang ditempuh oleh orang-orang sholeh dalam mengamalkan ilmunya, ia fahami Al-Qur’an lalu ia terapkan isinya di dalam kehidupan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di dalam dirinya dan lingkungan masyarakat luas. Jihad adalah hasil dari pembinaan yang sungguh-sungguh yang diberikan oleh gurunya dalam berbagai bidang kehidupan, ia merasa tidak terasingkan dengan kebenaran sikap yang diajarkan oleh gurunya, karena ia mengerti tentang jati dirinya bahwa hidup baginya hanya mengabdi kepada Rabbnya dan mengikuti jalan hidup rasulnya Muhammad SAW. ketika seseorang sudah memahami jalan jihad maka pribadinya tadak akan tergoyahkan sedikitpun dengan rongrongan orang-orang yang membenci kebenaran Islam, baik ia seorang muslim dengan kefasiqkannya maupun seorang kafir dengan kekafirannya.

  •  Tujuan Majelis Tafakur (Konsep Tentang Masyarakat Islam)
Wahai para pecinta Islam, telah kita ketahui bahwa walaupun telah banyak umat Islam yang sudah kaya dan berpendidikan tinggi tetapi cara hidupnya sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam. Hubungan suami, istri dan anak-anak dalam keluarga maupun hubungan antar individu belum sepenuhnya menunjukan citra masyarakat Islam. Maka salah satu faktor penyebab belum terwujudnya masyarakat Islam adalah kekeliruan cara umat Islam meniru pola hidup masyarakat barat. Hal ini karena adanya kecendrungan di antara umat Islam yang seolah-olah sudah ditradisikan, yakni jika ada seorang muslim yang meniru pola kehidupan masyarakat barat maka muslim tersebut dinilai modern dengan cara meniru kepribadian dan tata nilai bangsa tersebut baik dalam cara berpakaian, cara makan, pegaulan dan segala budayanya. Malahan pada perkembangan selanjutnya, terdapat asumsi yang keliru di mana jika ada orang yang masih menjalankan syariat dan tradisi Islam secara konsekuen maka orang tersebut akan dinilai ekstrim, ortodhok dan menyeleweng dari kehidupan yang wajar.
Masyarakat Islam yang ingin diwujudkan, haruslah dilandasi dengan syari’at Islam dan tradisi Islam yang ditunjang oleh iman. Karena syari’at dan tradisi Islam adalah khas, dalam arti tidak mungkin dilaksanakan oleh komunitas non-Islam, maka masyarakat Islam mempunyai sifat dan cirri yang berbeda dengan masyarakat lain. Maka dari itu masyarakat Islam haruslah setia kepada jati diri dengan menghindari mencontoh ( tasabuh ) segala sesuatu yang berasal dari masyarakat non-Islam baik dalam tatacara berpakaian, bergaul, berbicara, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Sebaliknya, masyarakat Islam harus diperkenalkan kepada syari’at dan tradisi Islam melalui keimanan kepada Allah dan rasul-Nya dengan cara dibina dan dibiasakan hidup secara Islamai.
Iman yang ingin ditanamkan ke dalam diri anggota masyarakat Islam adalah iman yang dapat membawa setiap individu untuk mengikuti satu peraturan hidup yang berdasar syari’at. Iman dalam konteks ini adalah imannya orang-orang mukmin yang senantiasa takut kepada Allah dan taat serta setia kepada perintah-Nya serta bersedia menjauhi larangan-Nya. Iman seperti inilah, imannya orang-orang saleh yakni iman dari orang-orang mukmin yang apabila diseur kepada jalan Allah akan mengucapkan “kami dengar dan patuh” ( sami’na wa atho’na ).
Lebih konkritnya lagi bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang menerapkan ajaran Islam secara utuh (kaffah) atau masyarakat yang mengamalkan hukum yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Juga masyarakat Islam yang mengamalkan apa saja yang digolongkan sebagai fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain. Juga masyarakat yang dalam aqidahnya adalah aqidah Ahlussunnah wal jama’ah yang berpedoman pada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Lebih dalam lagi bahwa masyarakat Islam yang ingin dibentuk seperti “Orang kaya menjadi bank bagi masyarakat. Para pemimpin melindungi dan mengayomi keselamatan rakyat dibawah kepemimpinannya. Para ulama sanantiasa memimpin dan mendidik serta member nasehat masyarakat. Orang-orang tua senantiasa mendoakan masyarakat. Orang-orang muda memberi tenaga atau kekuatannya kepada masyarakat. Pemuda-pemudi berakhlaq baik dan sopan-santun sampai masyarakat tidak terganggu oleh aktivitas mereka. Orang-orang miskin dengan sabar dan ridho menerima kemiskinannya dan tidak memendam kedengkian dan kecemburuan terhadap orang kaya. Orang-orang miskin tidak sakit hati dengan orang yang hidup berlimpah kemewahan. Inilah masyarakat ideal yang dikehendaki”.
Suatu jama’ah yang kuat adalah jama’ah yang tegak diatas tiga pilar. Pertama, setiap individu yang menjadi bagian jama’ah harus mempunyai iman. Kedua, tiap individu yang menjadi bagian jama’ah harus mempunyai ukhuwah yang kuat di antara sesame jama’ah. Ketiga, saling pengertian dan hubungan yang selaras antara anggota dengan anggota maupun anggota dengan pimpinan jama’ah.
Maka mulailah ini dengan membina keluarga, sahabat, dan keluarga dekat menjadi sebuah jama’ah.

  • Progam yang diserukan majelis tafakur(Membangkitkan Persatuan Islam)
Sudah lama umat islam tidak dipimpin oleh orang-orang yang amanah, kian terpuruk lemah tanpa daya menghadapi kekuatan musuh durjana. Banyak kalangan mengharapkan sang pemimpin itu hadir kembali di tengah-tengah umat, untuk menjadi pusat perhatian dan pemutusan segala perkara. Rancuhnya banyak pemahaman yang timbul di tengah-tengah umat, semakin mempersulit gerakan pemersatu. Telah nyata permusuhan antara yang haq dan yang bathil, hizbullah dengan hizbussyaithan, akan senantiasa bergejolak hingga hari kiamat. Wahai kaum muslimin dan muslimat hendaklah sama-sama renungan beberapa amanat ini dengan hikmah dan bijaksana :

Beberapa poin yang mesti kita perjuangkan untuk persatuan kita yaitu :
1. Kesatuan dalam aqidah yakni menerima rukun iman dan rukun islam dalam landasan yang telah disepakati oleh ijma’ para ulama beserta umat muslim seluruhnya dengan panduan Al Qur’an dan Sunnah.
2. Kesatuan dalam syari’at yakni menerima hukum islam yang 5, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram.
3. Kesatuan dalam akhlaq yakni akhlaq yang diambil dari keteladanan akhlaq nabi Muhammad SAW dalam segala aspek seperti bagaimana cara makan, berpakaian, kesabaran, keikhlasan, tawadhu’, zuhud, pergaulan, kebersihan, ibadah dan sebagainya.
4. Kesatuan dalam furuu’iyyah atau khilafiyah yakni lapang dada dan terbuka dalam menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan masalah cabang yang telah ada ijma’ dari ulama atau ijtihad ulama yang terpercaya.
5. Kesatuan pandangan mengenai kawan dan lawan yakni siapapun diantara orang islam adalah bersaudara selama ia tidak benci dan memusuhi islam itu sendiri sehingga pertikaian diantara mereka harus didamaikan ( QS. Al Hujurat : 10 ). Dan lawan adalah orang-orang kafir yahudi dan nasrani serta orang-orang munafiq ( Al Baqarah : 120 ). 

  • Progam Anggota Majelis Tafakur
1. Membaca Al-Qur’an, mendengarkan dan memahaminya dengan sungguh-sungguh serta mentadaburi isi yang terkandung di dalamnya.
2. Memperbanyak membaca hadits-hadits rasul dan menghafal diantaranya.
3. Menela’ah sirah nabi dan sejarah salafush sholeh.
4. Mengkaji risalah tentang usul dalam masalah aqidah dan risalah tentang furu’ dalam masalah fiqih.
5. Memperbanyak bedah media seperti Koran, majalah dan buku-buku tentang dakwah dan tarbiyah serta informasi tentang kondisi kaum muslimin zaman sekarang dan masalahnya.

  •  Sikap Anggota Majelis Tafakur
1. Totalitas dalam memperjuangkan Islam sebagai jalan hidup.
2. Loyal dan setia terhadap pimpinan.
3. Siap dipimpin dengan segala ketulusan.
4. Menjaga amanah yang diberikan.
5. Memiliki tekad yang kuat dalam perjuangan.
6. Sabar dan tegar dalam menghadapi kesulitan hidup dan kesulitan di jalan dakwah.

Fastabiqul Khaitat.