Bismillahirrahmaanirrahiim Laa haula walaa quwwata illaa billah

Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Juli 2012

Aqidah Yang Selamat

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tercurah atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Seiring merebaknya berbagai faham yang menyimpang dikalangan masyarakat kita, seperti tasybih (mnyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), takfir (pengkafiran) tanpa alasan,pengingkaran terhadap empat madzhab dan lain-lain. Maka pemahaman dan pengajaran aqidah ahlussunnah waljama'ah harus kembali ditekankan. Karena aqidah ini adalah aqidah mayoritas umat islam, dari masa Rasulullah hingga kini, aqidah golongan yang selamat (al Firqah an Najiyyah). Karena itulah para ulama empat madzhab menulis bebagai karya, dari mulai tulisan mukhtasharat (ringkasan) hingga muthawwalat (buku2 besar) dalam menerangkan aqidah Ahlussunnah ini. Aqidah sunniyyah adalah aqidah yang telah disepakati

Pengertiaan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah : 
  (فمن أراد بحبوحة الجنة فلليلزم الجماعة "(رواه الترمذي   Maknanya: …”maka barangsiapa yang menginginkan tempat lapang disyurga hendaklah berpegang teguh pada al Jam’a; yakni berpegang teguh kepada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at Turmudzi mengatakan hadits hasan shahih) Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam besar yang agung Abu al Hasan alAsy ‘ari (W.324 H) dan Abu Mansur al Maturidi (W.333 H)-semoga Allah meridhai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal

Selasa, 19 Juli 2011

Wajibkah Bermadzhab ?

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, 
Limpahan kebahagiaan dan rahmat Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda, saudaraku yang kumuliakan, mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan sebagaimana orang orang masa kini yang mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya, Anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya. Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia butuh sanad yang ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas.. Dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab syafii nya,

Demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain. demikian saudaraku yang kumuliakan.,

Wallahu a'lam.
(Kutipan dari Habib munzir Al Musawa)

Minggu, 10 Juli 2011

BID'AH

Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.

Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah. Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah
makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam, Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja. Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk edekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw? Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas
ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku ependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan
sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yang baru, sungguh semua yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw. Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873). Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?,
adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggarsyariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’ urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw. Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al- Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al- Quran dan tidak ada yang memungkirinya. Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).
Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”. Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt, Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan baangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semuayang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dim aksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ahyang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yang menentang  kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155) Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189). Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?
Walillahittaufiq

Rabu, 04 Mei 2011

Makna Ahlussunnah wal Jama'ah

         Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah :  
(فمن أراد بحبوحة الجنة فلليلزم الجماعة "(رواه الترمذي   
 Maknanya: …”maka barangsiapa yang menginginkan tempat lapang disyurga hendaklah berpegang teguh pada al Jam’a; yakni berpegang teguh kepada aqidah al Jama’ah”. 
(Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at Turmudzi mengatakan hadits hasan shahih) Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam besar yang agung Abu al Hasan alAsy ‘ari (W.324 H) dan Abu Mansur al Maturidi (W.333 H)-semoga Allah meridhai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al Hadits) dan ‘aqli (argument rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.  
        
        Al Hafizh Mutadla az-Zabidi (W.1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm.6, mengatakan: “pasal keduaA:”Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah pengikut madzhab Syafi’I, para pengikut madzhab maliki, para pengikut madzhab Hanafi, dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka. Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab: " إيمان بالله ورسوله" (رواه البخاري) Maknanya: “ Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. al Bukhari) Sama sekali tidak berpengaruh, ketika golongan Musyabbihah mencela ilmu ini dengan mengatakan “ilmu ini adalah ilmu al kalam al Madzmum (ilmu kalam yang dicela oleh salaf)”. Mereka tidak mengetahui bahwa ilmu al kalam al Mazmum adalah yang dikarang dan ditekuni oleh Mu’tazilah, Musyabbihah dan ahli-ahli bid’ah semacam mereka. Sedangkan ilmu al kalam al mamduh (ilmu kalam yang terpuji) yang ditekuni oleh Ahlussunnah, dasar-dasarnya sesungguhnya telah ada dikalangan para sahabat. Pembicaraan dalam ilmu ini dengan membantah ahli bid’ah telah dimulai pada zaman para sahabat. Sayyidina Ali-semoga Allah meridhainya- membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad-dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta ala mini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan 40 orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Beliau juga membantah orang-orang Mu’tazilah. 
 
       Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Ibnu Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘umar radhiallahu ‘anhu juga telah membantah kaum Mu’tazilah. Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, Khalifah ‘umar ibn Abd al ‘Aziz Radhiallahu ‘anhu juga telah membantah kaum mu’tazilah. Dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, trutama al Imam asy-syafi’I Radhiallahu ‘anhu beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hahifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad Radhiallahu ‘anhu sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi (W.429 H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W. 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az-Zarkasyi (W. 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al ‘Allaamah al Bayadli (W. 1098 H) dalam Isyarat al Maram dan lain-lain. Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al ‘Aqidah ath Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath Thahawi (W. 321 H), kitab al ‘Aqidah an Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an Nasafi (W. 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W. 630 H), al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W. 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan Shalahuddin al Ayyubi (W. 589 H) –semoga Allah meridhainya-, beliau sangat tertarik dengan buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al ‘Aqidah ahs Shalahiyyah. Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’I, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzin untuk mengumandangkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di mesir, seluruh Negara Syam (Syiria,Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H) dalam al Wasa ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al ‘Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan it terus berlangsung.  
note: al Hafizh adalah orang yang ahli dan hafal hadits beserta sanad dan perawihnya.

Keharusan mengikut aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tercurah atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Seiring merebaknya berbagai faham yang menyimpang dikalangan masyarakat kita, seperti tasybih (mnyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), takfir (pengkafiran) tanpa alasan,pengingkaran terhadap empat madzhab dan lain-lain. Maka pemahaman dan pengajaran aqidah ahlussunnah waljama'ah harus kembali ditekankan. Karena aqidah ini adalah aqidah mayoritas umat islam, dari masa Rasulullah hingga kini, aqidah golongan yang selamat (al Firqah an Najiyyah). Karena itulah para ulama empat madzhab menulis bebagai karya, dari mulai tulisan mukhtasharat (ringkasan) hingga muthawwalat (buku2 besar) dalam menerangkan aqidah Ahlussunnah ini. Aqidah sunniyyah adalah aqidah yang telah disepakati kebenarannya oleh segenap kaum muslimin diseluruh penjuru bumi. Aqidah inilah yang telah dibawa oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Aqidah ini kemudian dijelaskan kembali berikut dengan dalil-dalil naqli dan aqli serta bantahan terhadap golongan2 yang menyempal oleh dua imam besar; Al Imam Abu al Hasan al Ays'ari dan Al Imam Abu Manshur al Maturidi -semoga Allah meridhoi keduanya-. Akhirnya pada awal abad IV H Ahlussunnah dikenal dengan nama baru al Asy'ariyah dan al Maturidiyyah. Mereka adalah mayoritas umat yang tergabung dalam pengikut madzhab empat. Sesuatu yang patut disayangkan adalah merebaknya faham-faham yang bersenrangan dengan aqidah Ahlussunnaha dengan klai sebagai Ahlussunnah. Seperti faham yang mengatakan bahwa Allah bersemayam diatas 'Arsy atau Kursi (sebagian mereka menyatakan dilangit), mengharamkan ziarah kubur, memusyrikan orang yang bertawassul, menyatakan semua bid'ah(hal yang tidak disebut secara eksplisit dalam al Qur'an dan Sunnah) adalah sesat, dan banyak hal yang lainnya. Bahkan pada kurun terakhir ini telah timbul faham baru -pengikut faham salah satu sub sekte Khawarij- yang mengkafirkan penduduk suatu negara yang tidak memakai syari'at islam. Mereka mengkafirkan semua orang, baik yang duduk dalam pemerintahan negara tersebut maupun rakyat biasa. Faham2 inilah yang mulai merebak dimasyarakat kita. Faham2 yang jelas2 menyalahi apa yang telah disepakati oleh Ahlussunnah Wal Jama'ah. Wallahu a'lam.
(Dikutip dari buku AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH yang diterbitkan oleh SYAHAMAHpress)